Kamis, 27 Oktober 2011

Kebebasan Pers (hubungannnya dengan profesionalitas)



 Sejarah Kebebasan Pers
Jika kita melihat pada masa  orde baru, sangat jelas bahwa pers sangat dikekang oleh pemerintah. Peranan pers tidak berjalan semestinya. Semua media di awasi dengan ketat oleh pemerintah dan tidak jarang terjadi pembredelan media oleh pemerintah.
Namun kejatuhan presiden Soeharto pada tahun 1998 membawa dampak baru terhadap dunia pers. Berakhirnya orde baru menjadi aliran kebebasan berekspresi melalui media atau kebebasan pers. Buktinya pada saat memasuki era reformasi, masyarakat boleh memperoleh informasi dengan bebas. Kebebasan pers semakin terlihat saat perpindahan kekuasaan dari tangan Soeharto ke tangan Habibie.
Undang-undang pers no 40 tahun 1999 menjadi bukti nyata. UU inilah yang menjadi tiang kebangkitan pers pada era reformasi. Seiring dengan berjalannya waktu maka pers pada masa orde baru yakni pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) telah dihapuskan.Pembredelan yang sebelumya menjadi senjata oleh pemerintah untuk mengekang dan mengontrol media tidak lagi ditakuti.
Masa reformasi kebebasan pers semakin diperkuat saan Abdurahman Wahid memegang kekuasaan. Presiden Ri yang ke-4 dan menjabat selama 3 tahun ini bahkan dengan berani membubarkan Departemen Penerangan. Dimana lembaga tersebut adalah sebuah lembaga yang menjadi simbol struktural pengekangan terhadap kebebasan pers. Setelah Departemen Penerangan ditutup maka media semakin menjamur. Diawal masa reformasi, lebih dari 2000 media lahir, masyarakatpun dapat dengan mudahnya untuk memperoleh informasi. Masa dimana terjadinya keterbukaan informasi telah dimulai, dimana tidak ada campur tangan pemerintah dalam dunia pers.

Kebebasan Pers
Dalam tonggak perjalanan sejarah pers nasional (di Indonesia) tercatat, sejak Era Reformasi (1998), media massa memiliki kebebasan yang luas, terutama dalam melakukan kontrol dan koreksi terhadap jalannya pemerintahan (eksekutif). Meski berada di luar sistem politik formal, pers memiliki posisi strategis dalam informasi massa, pendidikan kepada publik sekaligus menjadi alat kontrol sosial.
Sejalan dengan itu, penerbitan pers tidak perlu lagi memiliki izin (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers-SIUPP), dan tidak lagi dikenal adanya sensor dan pembredelan. Hal ini sesuai dengan  Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers nasional memiliki kebebasan meskipun seringkali terasa bahwa suratkabar, tabloid dan majalah yang menyalahgunakan kebebasan itu.
Kebebasan pers di Indonesia saat ini memang patut dibanggakan, tetapi kebanggan itu juga telah membawa kita ke kebasan yang terlalu bebas. Bebas tanpa batas adalah anarki, anarki berlawanan dengan tata tertib. Bahkan Indonesia adalah negara yang memiliki sistem pers terbebas di Asia.
Kebebasan yang terlalu mudah dalam kepemilikan media telah membuat adanya penyakit sosial yaitu homogenisasi berita dan politisasi media.  Kepemilikan media pada satu orang telah membuat opini yang berkembang dalam masyarakat mudah sekali di mainkan oleh media yang dimiliki oleh satu orang pemilik modal.
Media massa tidak akan mampu bertahan jika ia tidak mengikuti logika pasar yang sarat dengan kompetisi dan pertimbangan ekonomis. Disamping itu seiring dengan berjalannya kebebasan pers maka siapapun yang memiliki modal yang kuat termasuk kalangan pebisnis dan politisi dapat mendirikan industri media yang dapat digunakan untuk kepentingan bisnis mereka. Hal itu membuat pers tidak lagi memiliki profesionalitas.

Kebebasan Pers Belum Optimal
Namun jika kita melihat dari sudut pandang yang berbeda, meski dilindungi oleh undang-undang, kebebasan pers atas karya-karya jurnalistik belum berjalan optimal. Lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, ternyata belum menjadi satu jaminan atas kebebasan pers yang independen.
Meskipun siapa saja kini bisa membuat surat kabar, kebebasan pers di Indonesia tetap dinilai masih jauh dari optimal. Kebebasan pers tidak diukur dari berapa banyak surat kabar dan perusahaan media yang ada di suatu negara. Kebebasan pers diukur dari hal-hal yang substansial seperti ada tidaknya kekerasan terhadap wartawan, intervensi pemerintah, kepentingan pemilik perusahaan media, perlindungan hukum terhadap pers, serta pers yang obyektif dan bertanggung jawab.
Diakui bahwa di era demokrasi ini wartawan dapat bekerja lebih terbuka mengangkat berbagai fakta. Namun kekerasan terhadap pers dan intervensi penguasa masih kerap terjadi. Hingga saat ini kebebasan pers masih terhalang tindak kekerasan dan upaya kriminalisasi terhadap wartawan serta gugatan hukum. Pers belum sepenuhnya merdeka karena masih banyak regulasi yang mengancam kebebasan pers.
Kenyataannya, setiap tahun selalu ada wartawan yang tewas akibat kekerasan terhadap pers. Intervensi pemerintah juga masih terjadi. Kita ambil contoh bagaimana Sekretaris Kabinet Dipo Alam beberapa waktu lalu pernah berencana memboikot media yang kritis terhadap pemerintah. Itu jelas sangat mengganggu proses kemerdekaan pers.
Indeks kebebasan pers Indonesia turun peringkatnya dari 101 menjadi 117. Demikian laporan Indeks Kebebasan Pers yang dikeluarkan organisasi jurnalis, Reporter without Borders. Skornya kebebasan pers Indonesia 35,83. Angka itu adalah angka terendah atau sama saat kepemimpinan Megawati Soekarno Putri. Karena kebebasan pers belum menyentuh hal-hal substansial, tidak heran jika Indonesia hanya menduduki peringkat 117 dari 178 negara dalam kebebasan pers.

Profesionalitas dan Objektifitas Pers
Pers  diakui mampu menjadi alat penguji yang efektif kehidupan demokrasi di Indonesia. Dan itu tidak dapat dilepaskan dari profesionalisme dan hormat pada kode etik. Namun, tekanan hukum yang otoriter dapat meruntuhkan idealisme pers.
Menurut Westerstahl (1983), mengukur objektivitas media harus memiliki dua kriteria. Yaitu factuality dan Impartiality. Faktualitas berarti berita ditulis berdasarkan fakta. Jadi berita bukanlah sebuah show atau rekayasa. Terdiri dari tiga hal, truth, informatif dan relevan. Truth disini maknanya bahwa nilai kebenaran komunikasi bergantung kepada nara sumber yang terpercaya dan dapat diandalkan. Kedua, aspek impartiality. Yaitu sebuah informasi atau berita yang tidak mengandung “keberpihakan” pada satu pihak. Ia nya terbagi dua, balance dan netrality. Balance dipahami sebuah berita yang disajikan harus berimbang. Dalam satu topik atau peristiwa tidak boleh dilihat dari satu sudut pandang saja. Ada beberapa narasumber baik yang pro maupun kontra yang diwawancarai.
 Melihat dua kriteria yang ada di atas, tentunya kita dapat melihat bagaimana objektivitas media saat ini. Saat ini banyak pelanggaran yang dilakukan oleh media. Mungkin ini terjadi karena media mempunyai agenda yang tersendiri. Media mempunyai ideologi yang berbeda antara satu media dengan media yang lain. Tetapi sharusnya setiap media harus tetap menjunjung nilai-nilai obyektivitas yang ada.
Masing-masing media mempunyai idelologi yang berbeda. Ideologi ini akan dijunjung tinggi oleh semua orang yang bekerja dalam media tersebut. Pada akhirnya apa yang diberitakan oleh media merupakan refleksi dari ideologi yang di anut oleh pemilik modal.
 Nilai objektifivitas media saat ini mungkin masih ada dalam media, tetapi kadarnya berbeda dalam setiap media. Ada yang masih memegang teguh nilai objektivitas, tetapi juga banyak media yang telah mengabaikan nilai nilai objektivitas dan hanya mengejar rating dan penjualan yang beroriantasi keuntungan atau masih banyak juga media yang menguntungkan satu kekuatan politik saja.
Profesionalitas dan objektifitas pers sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia, terutama sebagai media bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam kehidupan bernegara. Pers dituntut terus meningkatkan profesionalitas. Pers diharapkan dapat mengawal dan mengawasi pemerintahan agar menepati janji-janjinya saat masa kampanye. Namun pers tidak boleh elitis, dalam arti terlalu fokus memberitakan elite kekuasaan di Jakarta. Pilar demokrasi kita ada di daerah. Oleh karena itu, pers seharusnya juga meningkatkan perhatiannya pada daerah. Akibat mengabaikan daerah, perilaku pejabat daerah sering kali tidak terawasi oleh pers.


Sumber:
Heru, Puji Winarso, 2005. Sosilogi Komunikasi. Jakarta : Prestasi Pustaka